Idul Fitri baru saja kita lalui, menyusul berakhirnya puasa Ramadhan selama sebulan yang telah sama-sama kita lewati. Pada bulan Syawal ini umat Islam kembali ke kehidupan ‘normal’ seperti hari-hari sebelumnya: menjalani aktivitas harian yang mungkin sempat ‘tersita’ oleh kegiatan mengisi bulan suci Ramadhan dengan ragam amal ibadah, yang dilanjutkan dengan merayakan ‘hari kemenangan’, yang umumnya diisi dengan kegiatan mudik untuk bersilaturahmi dengan kerabat dan saling mengunjungi sesama.
Ramadhan boleh saja berlalu. Puasa—dalam artian menahan lapar dan dahaga seharian selama sebulan penuh—boleh saja berakhir. Itu adalah sunnatullah. Namun demikian, jika esensi puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang diharamkan Allah sekaligus mengendalikan hawa nafsu agar selalu tunduk dan taat pada semua perintah-Nya, ‘puasa’ sejatinya tidak pernah berakhir selama hayat dikandung badan. Bukankah menahan diri dari hal-hal yang Allah haramkan sekaligus menundukkan hawa nafsu pada semua perintah-Nya adalah merupakan esensi dari ketakwaan, yang sejatinya buah dari pelaksanaan shaum Ramadhan yang dijalani setiap Muslim? (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 183). Bukankah Baginda Rasulullah saw. pun mengukur kesempurnaan iman seseorang dari sejauh mana kemampuannya menundukkan hawa nafsunya pada semua aturan yang Beliau bawa, yakni aturan-aturan syariah?
«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ»
Tidak beriman seseorang sampai dia menundukkan hawa nafsunya pada apa saja yang aku bawa (aturan-aturan syariah).
Karena itulah, jika selama menjalani shaum Ramadhan seorang Muslim menahan diri untuk berbohong, berkata-kata kotor dan keji, menggunjing, menipu, menyakiti dan menzalimi orang lain maka demikianlah sejatinya ia selalu berperilaku meski Ramadhan telah berlalu. Jika selama berada di bulan suci seorang artis menutup auratnya rapat-rapat dan bahkan berhenti manggung atau main film/sinetron yang sarat dengan maksiat maka demikianlah semestinya ia senantiasa bersikap meski bulan suci sudah ia lewati.
Jika selama menjalani puasa Ramadhan seorang penguasa atau pejabat berhenti korupsi, menerima hadiah dan suap, menelentarkan dan zalimi rakyat maka demikianlah seharusnya ia selalu bertindak meski ia sudah meninggalkan bulan Ramadhan. Jika selama bulan suci seorang politisi ‘istirahat’ dari upaya ‘menjilat’ kesana-kemari maka demikianlah seharusnya ia selalu bersikap meski shaum tak lagi ia jalani.
Singkatnya, bulan puasa hanyalah momentum untuk mengingatkan kita tentang bagaimana seharusnya kita sebagai Muslim menjalani kehidupan ini—sepanjang tahun, tidak hanya selama Ramadhan—agar selalu berada dalam ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, yakni senantiasa menundukkan hawa nafsu pada semua perintah Allah dan menahan diri dari semua yang Dia larang.
Kenyataan Saat Ini
Sayang, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, esensi puasa di atas seperti tidak pernah dipahami dan seolah dilewatkan begitu saja oleh kebanyakan Muslim. Usai Ramadhan, banyak Muslim yang kembali suka berbohong, menggunjing dan menyakiti orang lain. Usai puasa, banyak artis yang kembali ke dunia maksiat, mengobral aurat dan melakukan tindakan tak terpuji. Usai shaum, banyak pejabat yang kembali melakukan korupsi dan menelantarkan rakyat.
Usai bulan suci, banyak politisi yang kembali bermanuver serta ‘menjilat’ kesana-kemari. Yang terjadi saat ini, meski Pemilu 2009 masih dua tahun lagi, energi para pejabat dan politisi malah mulai tersedot ke arah bagaimana cara mempertahankan/meraih posisi pada ajang Pemilu lima tahunan tersebut. Momentum silaturahmi Idul Fitri pun dimanfaatkan untuk melakukan penjajakan sebelum dilanjutkan dengan berkoalisi, melakukan manuver politik dan meraih simpati. Setelah mengajukan usulan kontroversial untuk kembali ke asas tunggal, yang kemudian banyak menuai kritik, beberapa partai besar, di antaranya PDIP dan Golkar, diberitakan sedang menggagas Liga Nasional. Tujuannya konon untuk memperteguh komitmen terhadap Pancasila, UUD 45, NKRI dan Pluralisme (Media Indonesia, 22/10/07).
Namun, siapapun tahu, saat mereka berkuasa, justru negeri ini carut-marut. Timor Timur malah lepas dari NKRI. RMS di Maluku dan OPM di Papua masih dibiarkan unjuk gigi. Kemiskinan dan pengangguran tak pernah bisa diatasi. Banyak BUMN dijual murah kepada pemodal luar negeri. Pluralitas (keragaman) justru hendak dipasung kembali dengan usulan asas tunggal. Tidak aneh jika ada yang menilai bahwa gagasan untuk membentuk Liga Nasional hanyalah ajang untuk berkoalisi menjelang Pemilu 2009.
Di sisi lain, wacana Capres/Cawapres jauh-jauh hari sudah banyak dibahas. PDIP sudah memastikan mengusung kembali Megawati menjadi Capres 2009. PKB juga berencana mengusung kembali Gus Dur menjadi Capres 2009. Dari kalangan independen, Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso—setelah secara terbuka mendeklarasikan diri akan maju menjadi Capres 2009—kini mulai rajin mendekati sejumlah parpol yang diharapkan bisa menjadi kendaraan poltiknya. Partai-partai lain, khususnya partai-partai besar, meski belum pasti, tak ketinggalan menjadikan isu Capres/Cawapres ini sebagai wacana utama sekaligus fokus agenda politiknya.
Lalu bagaimana dengan kondisi rakyat secara umum saat ini? Adakah mereka menjadi perhatian utama penguasa, para pejabat dan para politisi di atas sebagaimana saat-saat mereka berkampanye menjelang Pemilu?
Sayang, nasib rakyat yang sudah lama terpuruk seolah semakin terlupakan. Di bidang ekonomi, misalnya, pelayanan terhadap masyarakat seperti penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, layanan kesehatan dan pendidikan serta perbaikan infrastruktur yang menjadi kebutuhan dasar rakyat seolah tak pernah serius diurusi. Selama tiga tahun kepemimpinan SBY-JK kebutuhan mendasar rakyat tersebut tampak gagal diwujudkan. Wajar jika dalam dua tahun waktu yang tersisa dari pemerintahan SBY-JK, banyak pihak pesimis akan nasib bangsa ini. Pasalnya, sebagaimana dinyatakan Pengamat LIPI Syamsuddin Haris, “Fokus SBY dan kabinetnya sudah terpecah dengan semakin dekatnya Pemilu.” (Kompas, 22/10/07).
Memang, Pemerintah mengklaim pertumbuhan ekonomi saat ini cukup signifikan. Namun, pertumbuhan ekonomi dalam negeri saat ini di era Pemerintahan SBY lebih dipicu oleh pertumbuhan pasar uang, tidak mencerminkan pertumbuhan sektor riil. “Pertumbuhan pasar uang ini terutama terjadi karena banyaknya pemain asing yang masuk ke Indonesia. Mereka tergiur dengan tawaran bunga tinggi,” demikian komentar Pengamat Ekonomi UGM Ichsanuddin Noorsy. (Kompas, 22/10/07). Karena itu, meski pertumbuhan ekonomi diklaim positif, kemiskinan dan pengangguran justru makin meningkat. Wajar jika jajak pendapat Harian Kompas 6-7 Oktober 2007 menunjukkan, bahwa kepercayaan publik (rakyat) terhadap Pemerintah saat ini semakin pupus.
Menangkap ‘Spirit’ Idul Fitri
Sebagaimana puasa Ramadhan, Idul Fitri boleh saja pergi, dan Hari Raya Lebaran boleh saja tinggal kenangan. Namun, jika esensi Idul Fitri adalah kembali ke fitrah, sementara kembali ke fitrah berarti kembali ke ke ketaatan kepada Allah dengan menjalankan syariah-Nya dalam seluruh aspek kehidupan, maka demikianlah seharusnya bangsa yang mayoritas Muslim ini bersikap. Apalagi, di samping secara fitrah manusia memang butuh diatur oleh syariah, syariah jugalah yang bisa menjadi satu-satunya solusi untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi oleh umat manusia, yang terbukti tidak pernah bisa menyelesaikan persoalannya sendiri.
Kenyataan sudah membuktikan, selama puluhan tahun kita diatur oleh berbagai aturan yang bersumber dari ideologi Kapitalisme-sekular, nasib bangsa ini tidak pernah menjadi lebih baik. Ekonomi kita makin terpuruk. Politik kita semakin carut-marut. Dunia pendidikan kita tak pernah berhenti menuai masalah. Peradilan kita tak kunjung bisa menciptakan keadilan. Hukum kita tak pernah mampu menurunkan angka kejahatan. Bahkan kemerdekaan kita pun terampas karena saat ini kita sesungguhnya sedang berada dalam perangkap penjajahan baru (neo-imperialisme)—secara ekonomi, politik, pendidikan, sosial, budaya dan seterusnya. Pantaslah jika Allah SWT berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya, dibandingkan dengan Allah, bagi kaum yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Dengan merenungkan kondisi di atas, sudah saatnya seluruh komponen bangsa ini, khususnya umat Islam, tidak lagi berpaling dari aturan-aturan Allah SWT. Sebab, sesungguhnya keberpalingan kita dari aturan-aturan Allah yang sudah sedemikian lamanya, itulah yang menjadikan kita selalu mengalami kesempitan hidup di dunia—sebagaimana yang sedang kita alami—apalagi di akhirat kelak. Allah SWT memperingatkan:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta. (QS Thaha [20]: 124).
Karena itulah, hendaknya kita semua segera—tanpa perlu menunda-tunda lagi—menyambut seruan Allah SWT untuk menerapkan seluruh syariah-Nya secara total dalam kehidupan, sebagaimana firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا ِللهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian pada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian. (QS al-Anfal [8]: 20).
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.
Ramadhan boleh saja berlalu. Puasa—dalam artian menahan lapar dan dahaga seharian selama sebulan penuh—boleh saja berakhir. Itu adalah sunnatullah. Namun demikian, jika esensi puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang diharamkan Allah sekaligus mengendalikan hawa nafsu agar selalu tunduk dan taat pada semua perintah-Nya, ‘puasa’ sejatinya tidak pernah berakhir selama hayat dikandung badan. Bukankah menahan diri dari hal-hal yang Allah haramkan sekaligus menundukkan hawa nafsu pada semua perintah-Nya adalah merupakan esensi dari ketakwaan, yang sejatinya buah dari pelaksanaan shaum Ramadhan yang dijalani setiap Muslim? (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 183). Bukankah Baginda Rasulullah saw. pun mengukur kesempurnaan iman seseorang dari sejauh mana kemampuannya menundukkan hawa nafsunya pada semua aturan yang Beliau bawa, yakni aturan-aturan syariah?
«لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ»
Tidak beriman seseorang sampai dia menundukkan hawa nafsunya pada apa saja yang aku bawa (aturan-aturan syariah).
Karena itulah, jika selama menjalani shaum Ramadhan seorang Muslim menahan diri untuk berbohong, berkata-kata kotor dan keji, menggunjing, menipu, menyakiti dan menzalimi orang lain maka demikianlah sejatinya ia selalu berperilaku meski Ramadhan telah berlalu. Jika selama berada di bulan suci seorang artis menutup auratnya rapat-rapat dan bahkan berhenti manggung atau main film/sinetron yang sarat dengan maksiat maka demikianlah semestinya ia senantiasa bersikap meski bulan suci sudah ia lewati.
Jika selama menjalani puasa Ramadhan seorang penguasa atau pejabat berhenti korupsi, menerima hadiah dan suap, menelentarkan dan zalimi rakyat maka demikianlah seharusnya ia selalu bertindak meski ia sudah meninggalkan bulan Ramadhan. Jika selama bulan suci seorang politisi ‘istirahat’ dari upaya ‘menjilat’ kesana-kemari maka demikianlah seharusnya ia selalu bersikap meski shaum tak lagi ia jalani.
Singkatnya, bulan puasa hanyalah momentum untuk mengingatkan kita tentang bagaimana seharusnya kita sebagai Muslim menjalani kehidupan ini—sepanjang tahun, tidak hanya selama Ramadhan—agar selalu berada dalam ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, yakni senantiasa menundukkan hawa nafsu pada semua perintah Allah dan menahan diri dari semua yang Dia larang.
Kenyataan Saat Ini
Sayang, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, esensi puasa di atas seperti tidak pernah dipahami dan seolah dilewatkan begitu saja oleh kebanyakan Muslim. Usai Ramadhan, banyak Muslim yang kembali suka berbohong, menggunjing dan menyakiti orang lain. Usai puasa, banyak artis yang kembali ke dunia maksiat, mengobral aurat dan melakukan tindakan tak terpuji. Usai shaum, banyak pejabat yang kembali melakukan korupsi dan menelantarkan rakyat.
Usai bulan suci, banyak politisi yang kembali bermanuver serta ‘menjilat’ kesana-kemari. Yang terjadi saat ini, meski Pemilu 2009 masih dua tahun lagi, energi para pejabat dan politisi malah mulai tersedot ke arah bagaimana cara mempertahankan/meraih posisi pada ajang Pemilu lima tahunan tersebut. Momentum silaturahmi Idul Fitri pun dimanfaatkan untuk melakukan penjajakan sebelum dilanjutkan dengan berkoalisi, melakukan manuver politik dan meraih simpati. Setelah mengajukan usulan kontroversial untuk kembali ke asas tunggal, yang kemudian banyak menuai kritik, beberapa partai besar, di antaranya PDIP dan Golkar, diberitakan sedang menggagas Liga Nasional. Tujuannya konon untuk memperteguh komitmen terhadap Pancasila, UUD 45, NKRI dan Pluralisme (Media Indonesia, 22/10/07).
Namun, siapapun tahu, saat mereka berkuasa, justru negeri ini carut-marut. Timor Timur malah lepas dari NKRI. RMS di Maluku dan OPM di Papua masih dibiarkan unjuk gigi. Kemiskinan dan pengangguran tak pernah bisa diatasi. Banyak BUMN dijual murah kepada pemodal luar negeri. Pluralitas (keragaman) justru hendak dipasung kembali dengan usulan asas tunggal. Tidak aneh jika ada yang menilai bahwa gagasan untuk membentuk Liga Nasional hanyalah ajang untuk berkoalisi menjelang Pemilu 2009.
Di sisi lain, wacana Capres/Cawapres jauh-jauh hari sudah banyak dibahas. PDIP sudah memastikan mengusung kembali Megawati menjadi Capres 2009. PKB juga berencana mengusung kembali Gus Dur menjadi Capres 2009. Dari kalangan independen, Mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso—setelah secara terbuka mendeklarasikan diri akan maju menjadi Capres 2009—kini mulai rajin mendekati sejumlah parpol yang diharapkan bisa menjadi kendaraan poltiknya. Partai-partai lain, khususnya partai-partai besar, meski belum pasti, tak ketinggalan menjadikan isu Capres/Cawapres ini sebagai wacana utama sekaligus fokus agenda politiknya.
Lalu bagaimana dengan kondisi rakyat secara umum saat ini? Adakah mereka menjadi perhatian utama penguasa, para pejabat dan para politisi di atas sebagaimana saat-saat mereka berkampanye menjelang Pemilu?
Sayang, nasib rakyat yang sudah lama terpuruk seolah semakin terlupakan. Di bidang ekonomi, misalnya, pelayanan terhadap masyarakat seperti penyediaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, layanan kesehatan dan pendidikan serta perbaikan infrastruktur yang menjadi kebutuhan dasar rakyat seolah tak pernah serius diurusi. Selama tiga tahun kepemimpinan SBY-JK kebutuhan mendasar rakyat tersebut tampak gagal diwujudkan. Wajar jika dalam dua tahun waktu yang tersisa dari pemerintahan SBY-JK, banyak pihak pesimis akan nasib bangsa ini. Pasalnya, sebagaimana dinyatakan Pengamat LIPI Syamsuddin Haris, “Fokus SBY dan kabinetnya sudah terpecah dengan semakin dekatnya Pemilu.” (Kompas, 22/10/07).
Memang, Pemerintah mengklaim pertumbuhan ekonomi saat ini cukup signifikan. Namun, pertumbuhan ekonomi dalam negeri saat ini di era Pemerintahan SBY lebih dipicu oleh pertumbuhan pasar uang, tidak mencerminkan pertumbuhan sektor riil. “Pertumbuhan pasar uang ini terutama terjadi karena banyaknya pemain asing yang masuk ke Indonesia. Mereka tergiur dengan tawaran bunga tinggi,” demikian komentar Pengamat Ekonomi UGM Ichsanuddin Noorsy. (Kompas, 22/10/07). Karena itu, meski pertumbuhan ekonomi diklaim positif, kemiskinan dan pengangguran justru makin meningkat. Wajar jika jajak pendapat Harian Kompas 6-7 Oktober 2007 menunjukkan, bahwa kepercayaan publik (rakyat) terhadap Pemerintah saat ini semakin pupus.
Menangkap ‘Spirit’ Idul Fitri
Sebagaimana puasa Ramadhan, Idul Fitri boleh saja pergi, dan Hari Raya Lebaran boleh saja tinggal kenangan. Namun, jika esensi Idul Fitri adalah kembali ke fitrah, sementara kembali ke fitrah berarti kembali ke ke ketaatan kepada Allah dengan menjalankan syariah-Nya dalam seluruh aspek kehidupan, maka demikianlah seharusnya bangsa yang mayoritas Muslim ini bersikap. Apalagi, di samping secara fitrah manusia memang butuh diatur oleh syariah, syariah jugalah yang bisa menjadi satu-satunya solusi untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi oleh umat manusia, yang terbukti tidak pernah bisa menyelesaikan persoalannya sendiri.
Kenyataan sudah membuktikan, selama puluhan tahun kita diatur oleh berbagai aturan yang bersumber dari ideologi Kapitalisme-sekular, nasib bangsa ini tidak pernah menjadi lebih baik. Ekonomi kita makin terpuruk. Politik kita semakin carut-marut. Dunia pendidikan kita tak pernah berhenti menuai masalah. Peradilan kita tak kunjung bisa menciptakan keadilan. Hukum kita tak pernah mampu menurunkan angka kejahatan. Bahkan kemerdekaan kita pun terampas karena saat ini kita sesungguhnya sedang berada dalam perangkap penjajahan baru (neo-imperialisme)—secara ekonomi, politik, pendidikan, sosial, budaya dan seterusnya. Pantaslah jika Allah SWT berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya, dibandingkan dengan Allah, bagi kaum yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Dengan merenungkan kondisi di atas, sudah saatnya seluruh komponen bangsa ini, khususnya umat Islam, tidak lagi berpaling dari aturan-aturan Allah SWT. Sebab, sesungguhnya keberpalingan kita dari aturan-aturan Allah yang sudah sedemikian lamanya, itulah yang menjadikan kita selalu mengalami kesempitan hidup di dunia—sebagaimana yang sedang kita alami—apalagi di akhirat kelak. Allah SWT memperingatkan:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta. (QS Thaha [20]: 124).
Karena itulah, hendaknya kita semua segera—tanpa perlu menunda-tunda lagi—menyambut seruan Allah SWT untuk menerapkan seluruh syariah-Nya secara total dalam kehidupan, sebagaimana firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا ِللهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian pada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian. (QS al-Anfal [8]: 20).
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar