Kamis, 23 Juli 2009

Noaulu: "Baret Merah" dari Seram

Nama suku Noaulu di Pulau Seram, Maluku, mencuat pada 2005 setelah polisi mengungkap kasus mutilasi yang dilakukan salah satu marga suku itu di Desa Nuanea, Amahai, Maluku Tengah.
Bagian kepala, jantung, lidah, dan jari-jari dua korban akan dijadikan syarat peresmian perbaikan rumah adat baru marga Sounawe.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Masohi terungkap bahwa para pelaku yang dijatuhi hukuman mati dan menjadi hukuman seumur hidup dalam proses banding itu tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka juga tak mengetahui bahwa ada aturan hukum yang melarang pembunuhan manusia.
Tokoh masyarakat Noaulu yang juga Kepala Dusun Negeri Lama, Desa Sepa, Maluku Tengah, Marwai Leipary (25), Januari lalu, mengakui tradisi penggunaan kepala manusia sebagai persembahan pembangunan rumah adat memang ada sejak zaman dulu. Namun, aturan itu sudah dihapus oleh para tokoh adat pada 1970-an dan menggantinya dengan piring kuno atau kepala binatang kuskus.
”Aturan itu sudah dihapus karena sekarang sudah berlaku hukum positif. Kalau yang terjadi dulu itu (kasus 2005 di Nuanea) adalah karena ketidaktahuan mereka,” ujarnya.
Permukiman suku Noaulu di Nuanea memang terpisah dengan suku Noaulu lain yang ada di Sepa. Jika di Nuanea hanya ada satu kelompok masyarakat, di Sepa ada lima kelompok masyarakat Noaulu yang terbagi dalam lima perkampungan, yaitu Negeri Lama, Bonara, Hauwalan, Yalahatan, dan Rohua.
Jumlah populasi suku Noaulu diperkirakan hanya ribuan orang. Negeri Lama hanya memiliki 78 keluarga yang setara dengan 271 jiwa.
Ketidakmampuan berbahasa Indonesia membuat mereka juga terisolasi dari berbagai informasi pembangunan. Mereka juga cenderung eksklusif demi menjaga tradisi leluhur.
Suku Noaulu yang ada di Sepa lebih terbuka karena permukiman mereka cenderung bersatu dengan warga desa lain. Tempat tinggal mereka juga terletak tak jauh dari Jalan Trans-Seram yang menghubungkan Masohi-Tehoru. Warga juga telah mengenal televisi dan berpendidikan lebih baik daripada saudara mereka di Nuanea.
Nama Noaulu didasarkan atas tempat awal permukiman mereka di hulu (ulu) Sungai Noa di jantung Pulau Seram. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, umumnya mereka berkebun dan berburu di hutan dengan menggunakan panah, tombak, dan sumpit.
Ciri utama masyarakat Noaulu adalah ikat kepala berwarna merah yang digunakan pria dewasa. Ikat kepala yang disebut kain berang itu tidak boleh dilepaskan dalam kondisi apa pun, kecuali saat mandi. Adapun perempuan yang telah bersuami wajib mengenakan kain atau selendang di pinggangnya.
Warga umumnya menganut agama yang mereka sebut agama suku Noaulu. Kepercayaan ini diwariskan oleh para leluhur dan tokoh adat melalui tuturan. Pemerintah umumnya memasukkan kepercayaan mereka itu dalam kelompok agama Hindu meskipun warga menolaknya.
Keterbukaan warga Noaulu di Sepa membuat mereka lebih terbuka menerima agama lain, terutama Islam. Sebagian warga yang berpindah agama biasanya disebabkan oleh pernikahan dengan warga luar suku Noaulu.
Satu hal yang paling berkesan selama saya berada di sana, di antaranya adalah tentang adat kebiasaan persembahan kain merah bagi siapapun tamu yang ingin berkunjung ke desa ini–dan berkehendak bisa diterima oleh tetua suku. Entah, apakah kebiasaan itu masih berlaku hingga sekarang. Tapi, yang jelas, dulu saya membawa sehelai kain merah untuk mereka.
Benar saja, sebagai tamu, saya merasa begitu dihormati. Berbagai informasi tentang suku ini pun mengalir deras keluar dari seorang tokoh suku (sayang, saya lupa namanya. Oh, ya, saya juga sempat mengabadikan beberapa foto).

Development Ambon - Seram Bridge

Background :Maluku Province is one of Provinces in Indonesia with total isles, namely more than one thousand islands. If viewed from the size definition, then the island categorized large is only Seram Island, while Buru still including in the isles. If viewed from definition of total populations, then all islands in the Maluku Province including in the small category.

Viewing from the developed definition by the said United Nations, Maluku Province is known as Small Island Province (SIP). In the area of small island, marine transportation means become one of the key determinant factor in the development success, but such transportation means is traditional and it is not continually operational with the fixed frequency due to its operation is determined by the condition of season or weather. Therefore, in the small island area is necessary to develop transportation facilities that can omit or minimize the effects of season or weather.Seram as the largest island in the Maluku Province has offshore and onshore potency and it can be developed to support development of other regions. This island has 3 Regencies (West Seram, Central Maluku and Eastern Seram) located adjacent to Ambon island in Kota Ambon as the Capital of Province. In Maluku Province, Kota Ambon has the only Exit Main Gate of this region. Therefore, transportation accessibility to and from the said Kota is extremely determinant for the development of other islands. In order to support and accelerate the development of Seram island as the largest island and most potential to support the development of Maluku Province, then improvement in accessibility to transportation becomes one main must other than the development of other facility and infrastructure. Viewing the said condition, then development of inter-island bridge of Ambon Seram (AMBSER) with the length less than 9 Km forward having extremely proper economy prospect. Definitely this is supported by the availability of human, vehicle and goods in western Seram Regency, Central Maluku. Eastern Seram and Kota Ambon that will cross to use the said bridge. By the pessimistic prediction, it is described that total vehicles to be crossed the said bridge around 3,250, and with the crossing price of Rp. 150.000 per vehicle within 15 years will be obtained the gross income of Rip. 8.78 trillion. Bridge investment value along less than 9 Km is Rp. 6 Trillion. Such data description shows that not later than 15 years of investment can be returned.
Purpose of Project
· To build transportation that can increase accessibility to the area that does not depend or is affected by conditions of season or weather or its operation only limited at midday.
· To build all facilities of transportation having tourist value so that it can give multidimensional effects to the development of other sectors.
· To accelerate the development of economy growth point in the Province of Maluku, especially in Seram Island.
Scope of Project:
Development approach of Ambon Seram Bridge, for which the length less than 9 Km will be implemented from two points, namely Ambon island and Seram island points made by 2 Contractor. By such work, it is expected that the work can be completed within 5 years (0,9 Km per annual).
Project Feasibility:
By the optimistic approach, total vehicles passing through the bridge of Ambon Seram are predicted per day of 3,250. Such amount is only for the four-wheel vehicles, including two wheel vehicles and passengers. The
price of one crossing for four-wheel vehicles is Rp. 250.000. Accordingly, the obtained income from the four wheel vehicles per year only reaches Rp. 0.2926 Trillion and to amortize investment cost of Rp. 6 trillion requires time less than 20 years. Time to return the said investment can be accelerated if the income of two wheel vehicles can be also used for the return of loan capital.
Project out come:
· People can access transportation between Seram and Ambon islands as the exit main gate of the Province region at any time as it is estimated by sea condition or season.
· Interaction between people of both islands and other islands, such as Buru island and other islands will enhance so that it will give opportunity towards the appearance of business or new investment.
· Some business results have market access, chiefly perishable agricultural commodities.
· Economy growth in the area of Seram island will be increasingly accelerated.
· Expected Impact / Profit
· The connection of Seram and Ambon island Area will give positive impact to Kota Ambon, as business activity competition and space can be minimized thereby stabilizing security condition and minimizing, even it recovers ecosystem of Ambon island.
· Movement context of capital to Seram island becomes irrelevant and if it is made requires higher cost for a longer period time and arise potentially new social KERAWANAN.
· Occurrence of spontaneous population migration to Seram island thereby
· Accelerating the growth and development of various social infrastructure facilities.
· Encouragement of new investment, chiefly in the sectors of tourism, hotel, property, land transportation and market.
· Trans road of Seram will be increasingly economically valuable and supporting the development of road trans of new Seram in the route of Tehoru Seram Timur.
· Improvement of Province PAD, Regency or Town available in Seram and Ambon islands.
Estimated Project Cost:
Development cost: Rip. 6 Trillion, time ford development is 5 years.
Financing Strategy
There are some most possible alternatives to do in financing strategy, i.e.:
Alternative I:
· Consortium of Regency Pemda (Kota Ambon, West Seram Regency, Central Maluku and East Seram): 1,2 Km, investment value of Rp.0.78 Trillion or Rip. 39 Billion per year per Regency Area.
· Pemda of Maluku Province: 0,5 Km, investment value of Rip. 0.325 Trillion or 65 billion per year.
· Central Government, APBN managed by Jasa Marga (Ministry of Transportation) 3,5 Km, investment value of Rp. 2.29 T or Rp.457 Billion per year.
· Private Consortium: 4 Km, investment value of Rp. 2.61 T or Rp.522 Billion per year.
Alternative II:
· Loan aid from one Donor Country with low interest and Central Government (ratio 70: 30 or 80:20).
Alternative lll:
· Aid from some Donor Countries in terms of Multilateral and Central Government (Ratio 90:10).
Cooperation :
Central Government, Regional Government and Private Sector.

Tradisi Suku Naulu: Kepala Manusia, Persembahan Buat Rumah Adat

Di jaman yang serba modern saat peradaban manusia sudah keluar dari keterisolasiannya, ternyata di pedalaman Pulau Seram, Provinsi Maluku, terdapat satu komunitas suku asli yakni Naulu yang masih bertahan dengan tradisi unik peninggalan jaman bar-bar yang saat ini sangat bertentangan dengan norma hukum positif di belahan dunia manapun. Tradisi tersebut adalah memotong kepala manusia buat persembahan. Sebuah ritual adat yang diyakini sebagian warga Naulu sebagai kepercayaan yang mutlak harus dilakukan. Keyakinan itu mengalahkan akal sehat dan logika manusia karena kepercayaan yang diyakini pelakunya, jika tidak mendapat kepala manusia buat persembahan bisa mendatangkan bala atau musibah. Suku yang prianya bercirikan khas ikat kepala merah itu hidup di pedalaman Seram dengan berkoloni dan agama yang dianut adalah aliran kepercayaan, sebagaimana agama para leluhurnya. Kehidupan masyarakatnya yang suka berburu dan berladang untuk makan itu tidak menetap dalam satu perkampungan besar. Mereka tersebar pada lima lokasi di Pulau Seram dengan dusun masing-masing Nuane, Bonara, Naulu Lama, Hauwalan, dan Rohua. Pada Juli 2005 lalu, warga Masohi Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah digegerkan dengan penemuan dua sosok manusia yang sudah terpotong-potong bagian tubuhnya. Bonefer Nuniary dan Brusly Lakrane adalah korban persembahan tradisi suku Naulu saat akan melakukan ritual adat memperbaiki rumah adat marga Sounawe. Kepala manusia yang dikorbankan diyakini akan menjaga rumah adat mereka. Bagian tubuh kedua korban yang diambil selain kepala yang nantinya diasapi adalah jantung, lidah, dan jari-jari. Sementara anggota tubuh yang tidak diambil dihanyutkan di aliran sungai Ruata, tidak jauh dari perkampungan suku Naulu dari komunitas Nuane. Akibat perbuatannya itu, tiga warga Naulu yang merupakan komunitas adat tertinggal di Pulau Seram ini divonis hukuman mati oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Masohi. Mereka adalah Patti Sounawe, Nusy Sounawe, dan Sekeranane Soumorry. Sementara tiga lainnya divonis hakim hukuman penjara seumur hidup masing-masing Saniayu Sounawe, Tohonu Somory, dan Sumon Sounawe. Para pelaku mutilasi ini dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan secara berencana, sebagaimana diatur dalam pasal 340 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana. Raja Naulu dari suku Nuane, Sahune Matoke, mengatakan tindakan yang dilakukan warganya disebabkan karena ketidaktahuannya akan hukum formal yang berlaku di Indonesia. Motivasi pembunuhan dengan mengambil kepala manusia dilakukan karena keyakinannya untuk melakukan ritual adat yang dinilai sakral. “Warga saya tidak tahu kalau membunuh itu hukumannya apa,” terang Sahune saat ditemui Radio Vox Populi di Kantor LSM Humanum, Ambon, beberapa waktu lalu. Peristiwa pengambilan kepala manusia ini bukan baru pertama kali terjadi. Sebelumnya pada tahun 1990-an, tiga warga Naulu dari komunitas Nuane dihukum 17 tahun penjara karena melakukan hal yang sama. Saat itu korbannya dua orang yang tengah berburu di hutan dibunuh dan diambil kepalanya untuk ritual adat seperti yang terjadi pada Juli 2005 lalu. “Kami tidak tahu dan mengerti hukum. Saya memang sudah memberi arahan saat peristiwa sebelumnya terjadi, tapi itu tidak berhasil karena anggapan mereka (warganya, red) kita ini sama. Selain itu tidak ada dukungan pemerintah untuk turun ke suku saya untuk memberikan arahan,” ujarnya. Dikatakannya, tradisi tersebut sudah terjadi sejak jaman bar-bar, saat sering terjadi perang antar suku di pedalaman Pulau Seram sejak berabad-abad tahun lalu. Dalam kondisi seperti itu siapa yang kuat dialah yang menang. Bahkan dalam tradisi dulu, seorang raja yang ingin mengangkat seorang anak mantu laki-laki haruslah heroik dengan menunjukan kejantanannya dengan mempersembahkan kepala manusia sebagai mas kawin. “Ajaran adat kami sebenarnya tidak seperti itu tapi tradisi adat dilepaskan saat muncul masa-masa penguasaan. Saat terjadi perang antar suku untuk saling menguasai,” jelasnya. Sahune mengatakan, keyakinan dikalangan warganya bahwa potong kepala merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan saat akan melakukan ritual adat seperti perbaikan atau pergantian rumah adat. “Perbuatan mereka karena tidak tahu tentang hukum, dan keyakinan mereka kalau tidak melakukan pemotongan kepala bisa sakit bahkan mati,” ungkapnya. Disamping itu, kuasa hukum banding terdakwa Naulu, Samson Atapary, balik mempertanyakan tanggungjawab negara yang tidak menyikapi secara serius tradisi masyarakat Naulu tersebut. Tradisi potong kepala manusia di suku Naulu ini, kata Samson, bukan yang pertama terjadi tapi sudah berulang kali dan tidak pernah ada pendekatan atau penyuluhan oleh pemerintah ke masyarakat Naulu. “Ini sebenarnya tanggungjawab negara yang sudah mengetahui ada tradisi yang bertentangan dengan hukum formal tapi tidak ada proses untuk memberikan pemahaman dan penyuluhan tentang hukum kepada warga Naulu,” sesal Samson. Dirinya menambahkan, pihaknya tidak puas dengan putusan hakim yang tidak mempertimbangkan faktor non yuridis dalam pengambilan keputusan. “Kami melihat, vonis yang diberikan hakim buat mereka (para terdakwa, red) tidak menjadi sarana penyadaran dan pembinaan buat mereka, sehingga kami selaku kuasa hukum akan banding dengan harapan ada pertimbangan-pertimbangan non yuridis terhadap vonis nanti,” kata Samson. “Kami akan banding sebagaimana diatur dalam undang-undang,” sela Stenley Mailissa. Dalam proses banding tersebut, penasehat hukum dari keenam terdakwa mutilasi yang melibatkan warga suku Naulu ini adalah Samson Atapary dan Stenley Mailissa. “Kami akan prioritaskan kasus tiga klien kami yang divonis mati, dengan meminta keadilan buat mereka. Kenapa pengadilan memutuskan hukuman seberat itu, ini ada diskriminasi hukum. Mereka bunuh orang karena tidak tahu konsekuensi hukumnya apa,” kata Stenley. Dirinya menceritakan, dari fakta persidangan menunjukkan kepolosan kliennya dan ketidaktahuannya akan hukum. “Saat hakim bertanya ke terdakwa apa yang mereka rasakan saat membunuh orang, jawaban dari dua orang terdakwa sangat mengejutkan kami yakni mereka merasa bangga. Ini menunjukkan kalau mereka memang tidak tau apa-apa. Bahkan mereka katakan kepada hakim kalau tidak ada kepala manusia katong (kami) bisa sakit dan mati,” kata Stenley, meniru ucapan para terdakwa saat persidangan lalu. Untuk itu dirinya berharap, perlakuan hukum kepada kliennya pada banding nanti tidak bisa disamakan dengan warga masyarakat lain yang sudah hidup terbuka. Mengingat pendidikan dan pengetahuan warga Naulu sama sekali tidak ada tentang hukum karena tidak ada pembangunan hukum, sosial, maupun pendidikan terhadap warga masyarakat Naulu. “Yang diketahuinya hanya sebatas berburu dan bertanam,” ujarnya. Kehidupan sosial yang terbelakang ini juga diakui Raja Sahune Matoke. Perkampungan Nuane yang didiami 525 keluarga atau sekitar 900 jiwa itu belum tersentuh pembangunan sama sekali. Ironisnya, tidak jauh dari perkampungan Nuane atau sekitar dua kilometer terdapat pemukiman transmigrasi lokal yang baru ada 10 tahun belakangan ini. “Di lokasi transmigrasi sudah jalan raya, sekolah, dan listrik. Kami yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu hingga sekarang tidak dibangun jalan raya dan listrik,” ungkapnya. Selain itu, agama yang dipakai oleh masyarakatnya yakni aliran kepercayaan justru mempersulit mereka dalam mencari pekerjaan, termasuk dalam hal pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hingga saat ini, kata Sahune, baru satu warganya yang kuliah. Itupun baru duduk pada semester lima di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik di Masohi, Maluku Tengah. Sementara lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) baru lima orang. “Selain faktor ekonomi masyarakat saya yang miskin, anggapan dari para orang tua di kalangan masyarakat kami bahwa percuma sekolahkan anak kalau nanti tidak bisa bekerja di kantor pemerintahan. Persoalannya karena agama yang dianut kami katanya tidak resmi,” terangnya. (vp)